Welcome to Matahari Ilmu

Jika hidup itu mengajarkanmu banyak hal, maka tuliskanlah sebagai sebuah tinta sejarah yang penuh hikmah....


Saturday, April 24, 2010

Menjemput Impian

Sore ini, ketika aku membuka facebook, ada sebuah kiriman video dari seorang teman. Yah, sebuah video yang cukup membuatku mengeluarkan keringat dingin. Video ini memperlihatkan bagaimana ajal menjemput seorang laki-laki yang tengah melaksanakan sholat disebuah mesjid. Gambar ini di dapat dari kamera CCTV yang dipasang di sudut mesjid tersebut. Sungguh kematian yang indah dan tentunya diidam-idamkan oleh setiap muslim. Setelah melaksanakan sholat dua rakaat dan berdzikir, tiba-tiba laki-laki itu tersungkur dengan posisi sujud yang sempurna. Tak ada yang menyadari bahwa malaikat maut baru saja menjemput. Jama'ah mesjid yang lain mungkin hanya berpikir laki-laki itu tengah bersujud. Namun beberapa saat kemudian barulah orang-orang yang ada di mesjid sadar bahwa laki-laki itu sudah tidak bernyawa lagi...

Subhanallah...video ini benar-benar menjadi bahan renungan, betapa setiap saat malaikat maut selalu mengintai. Entah kapan dia datang, dan disaat seperti apakah dia datang? Wallahualam. Tentu saja yang bisa dilakukan adalah selalu melakukan kebaikan-kebaikan. Semoga laki-laki tadi tengah berbahagia di alam kubur sana, dan semoga bagi kita yang akan menyusul juga diizinkan oleh ALLAH untuk meninggal dalam keadaan yang baik, keadaan yang huznul khotimah.. Agar kelak kita bisa bertemu dengan kekasih abadi kita, Rabb Ar-Rahman Ar-Rahim. Amin.

Tukang Becak Naik Haji


Menunaikan Ibadah Haji merupakan impian terbesar setiap muslim. Bagi orang yang berkecukupan, hal ini bisa diwujudkan bahkan mungkin berkali-kali. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang lemah secara ekonomi? Jangan khawatir juga karena ALLAH Maha Berkehendak, Kun fa ya kun. Kita hanya perlu yakin akan itu. Jika boleh memakai istilah seorang teman, “naik haji adalah suatu keniscayaan, semua hanya masalah waktu….”

Ini adalah sebuah kisah nyata dimana ALLAH tidak memilih-milih tamunya untuk satang ke rumah-Nya yang Agung. Salah satunya adalah Pak Sugi seorang tukang becak yang tinggal di Semarang. Jika dibayangkan dengan akal sehat, maka seorang tukang becak yang hanya berpenghasilan pas-pasan rasanya mustahil bisa berangkat haji. Tapi ini memang diluar akal sehat. Ternyata kebaikan-kebaikan yang dilakukan bisa mengantarkan kita pada nikmat yang luar biasa.

Suatu ketika seorang pengusaha kaya datang ke kota semarang. Setelah meletakkan barang-barangn di hotel maka dicarilah becak yang bisa mengantarkannya keliling kota Semarang. Waktu itu terpilih Pak Sugi. Malam kian larut, Pak Sugi masih setia menemani kliennya tadi untuk berkeliling kota Semarang. Hingga akhirnya, langit menunjukkan akan datangnya waktu subuh. Tiba-tiba Pak Sugi meminta maaf kepada kliennya karena tidak bisa lagi mengantar keliling kota. Sang pengusaha bertanya, kenapa?. Pak sugi menjawab bahwa dalam hidupnya ia sudah berkomitmen untuk selalu sholat 2 rakaat sebelum subuh, kemudian menghimbau orang-orang untuk sholat dengan adzannya, dan setelah itu melaksanakan sholat berjama’ah. Dan sekarang sudah hampir subuh maka ia harus segera mencari mesjid.

Mendengar penjelasan tersebut, si pengusaha semakin penasaran. Ia tak menyangka bahwa ada seorang tukang becak yang memiliki prinsip. Maka penguasaha tadi memberikan penawaran, “tetaplah menemani saya berkeliling, nanti saya akan berikan uang Rp.500ribu.” Pak Sugi menjawab “bukan saya tidak butuh atau tidak mau uang, tapi saya masih ingat pesan seorang ustadz bahwa sholat 2 rakaat sebelum subuh jauh lebih baik dari dunia dan seisinya. Jadi maaf saya tidak bisa mengantarkan Anda berkeliling, nanti saya akan carikan tukang becak yang lain ….”

“ Bagaimana kalo saya tambahkan menjadi Rp. 1 juta, apakah Bapak mau mengantarkan saya?” tanya si pengusaha. Pak Sugi tetap tak tertarik, apalagi dari sebuah microphone mesjid sudah terdengar lantunan Asmaul Husna yang menandakan bahwa sebentar lagi adzan akan berkumandang. Akhirnya pengusaha itu pun menyerah dan ikut bersama Pak Sugi mencari mesjid dan melaksanakan sholat berjamaah. Ketika iqomah selesai dibacakan sang pengusaha berdo’a, “ Ya ALLAH, izinkanlah hamba dan laki-laki ini datang berkunjung ke rumah-Mu..”

Setelah itu mereka sholat berjama’ah. Selesai sholat dan berdo’a sesuai dengan kebutuhan masing-masing maka sipengusaha tadi memeluk Pak Sugi dengan erat. Kemudian ia katakana bahwa ia ingin ke Baitullah bersama-sama dengan Pak Sugi. Subhanallah…akhirnyaa tukang becak yang mencintai Tuhan diatas segala-galanya menjadi salah satu tamu yang di undang ALLAH untuk berhaji.

Sebenarnya sipengusaha tadi bukanlah sembarang orang. Dia juga rajin beribadah. Tapi ketika dia melihat prinsip dan komitmen yang dipegang oleh Pak Sugi maka ia ingin menguji seberapa kuat komitmen itu.

Apa yang dialami Pak Sugi, hanya sepenggal kisah yang menunjukkan ke-Maha Kuasa-an ALLAH. Masih banyak ceritaa-cerita hebat lainnya yang terukir dari hamba-hamba-Nya yang sholeh. Semoga kita bisa mencontoh keteladanan ini dan semoga ALLAH berkenan untuk mengundang kita juga untuk berkunjung kerumah-Nya. Amin.

Thursday, April 22, 2010

R.A Kartini

Hari Kartini baru saja berlalu. Tapi mungkin gaungnya masih terdengar. Ada berbagai macam acara diadakan untuk mengenang kembali jasa-jasa R.A Kartini yang konon kabarnya dianggap sebagai pelopor emansipasi wanita.Berbeda dari pahlawan lainnya,Kartini berjuang tidak menggunakan pedang layaknya pahlawan wanita dari serambi Mekah, Cut Nyak Dien. Kartini lebih senang menuliskan pikiran dan kegelisahannya melalui tulisan.
Memang pada masanya, Kartini memiliki banyak teman Belanda. Relasi inilah yang kelak membuat tulisan-tulisan Kartini bisa dinikmati hingga sekarang.

Mungkin emansipasi yang diusung oleh Kartini mengalami pergeseran. Apa yang dilakukan Kartini dulu merupakan bentuk perhatiannya terhadap pendidikan wanita. Mungkin dimasa Kartini hidup, wanita hanya diidentikkan dengan 3 -ur; sumur, dapur dan kasur. Walaupun mungkin pameo itu masih dijumpai juga dizaman serba canggih seperti sekarang. Menurutnya, wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam belajar dan menuntut ilmu. Maka kegelisahan mengenai pendidikan wanita ini ia tuangkan dalam sebuah surat yang ditujukan pada salah seorang temannya, dan meminta temannya itu memberikan perhatian yang lebih terhadap pendidikan wanita yang ada di daerahnya.

Hal yang menarik juga, suatu ketika Kartini menghadiri sebuah Kajian Tafsir Al-Qur'an. Dan dia sangat tertarik pada sepenggalan kata yang terdapat dalam surat Al Baqarah yang bunyinya " ...minazzulumati illannur...", yang jika diterjemahkan berarti dari kegelapan menuju cahaya. Kata-kata itu sangat menginspirasi Kartini. Bahkan dibeberapa suratnya, dia terus mengulang kata-kata itu. Oleh teman Belandanya, kata itu dirubah menjadi "Habis gelap, terbitlah terang" yang kemudian disematkan pada buku kumpulan surat-surat Kartini.

Sungguh luar biasa, walaupun keberadaannya tak lama didunia, tapi jasa-jasa Kartini abadi sepanjang masa. Semoga wanita-wanita Indonesia mampu meniru keteladanan Kartini. Dan semoga gema emansipasi yang sering di kobar-kobarkan memang mengarah pada pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh wanita, dan bukan hanya sekedar mempersoalkan hal-hal yang bias.

" Ibu kita Kartini..."
" Putri sejati..."
" Putri Indonesia ..."
" Harum namanya ..."

( Sepengggal lagu "Ibu Kita Kartini")

Wednesday, April 21, 2010

"Ya Sudahlah..."



Ketika mimpimu yg begitu indah,
tak pernah terwujud..ya sudahlah
Saat kau berlari mengejar anganmu,
dan tak pernah sampai..ya sudahlah (hhmm)

Apapun yg terjadi, ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih..coz everything's gonna be OKAY ......


By: Bondan P.

An Education Dilemma


Pertemuan kami sebuah kebetulan jika dilihat dari kacamata manusia, tapi tentu saja tidak bagi Tuhan. Segala sesuatu tidak ada yang kebetulan bagi-Nya, semua sudah direncanakan bahkan sebelum manusia itu lahir. Aku menyapa duluan, karena dari logat bicaranya aku yakin kami berasal dari daerah yang sama. Dan tebakanku tak salah. Ternyata dia adalah seorang dosen di kampusku dulu yang juga alumni dari universitas yang sama. Berarti dia adalah seniorku walaupun berbeda jurusan, dan ternyata dia tamat setahun setelah aku masuk.

Percakapan kami cukup lama, mungkin sekitar 15 menitan, lumayan juga untuk keluar sejenak dari kerumitan buku-buku yang kubaca di perpustakaan ini. Dan lega rasanya bisa berbicara dengan first language kami. Aku cukup kagum dengan semangat belajarnya. Dia baru saja menyelesaikan S2 dengan prediket cum laude. Dan setelah ini dia akan melanjutkan study S3-nya dengan beasiswa tentunya. Aku hanya tersenyum, kasihan sekali istri dan anaknya yang kembali harus ditinggal. Tapi itulah, kesuksesan itu memang terkadang harus ditebus dengan pengorbanan yang cukup berat.

Setelah berbicara ngalor ngidul dari kampung halaman hingga dunia pendidikan, dia mulai menjurus ke arah yang cukup spesifik. Dia menanyakan apa rencanaku setelah S2? Peluang kerja seperti apa yang kuinginkan? Aku hanya mengatakan bahwa aku ingin ilmu yang kumiliki sekarang bermanfaat untuk banyak orang. Apakah nanti di kampus atau di sekolah, menurutku terserah saja. Toh aku tidak akan memilih-milih objek untuk berbagi ilmu, jika ada universitas atau sekolah yang membutuhkan maka aku akan dengan senang hati berbagi ilmu.

Bapak itu menanyakan hubunganku dengan pihak jurusan di kampus dulu. Dia menyuruhku untuk mencari koneksi dan lebih pro-aktif. Bukan untuk KKN, tapi memang semakin banyak relasi maka akan semakin besar peluang kerja. Apa yang dia sampaikan benar adanya, namun sayang waktu dikampus dulu aku bukanlah termasuk kategori mahasiswa yang berprestasi. Dan jikapun aktif berorganisasi, aku lebih sering berada dilapangan daripada berhubungan dengan urusan birokrasi kampus. Bisa dikatakan aku ini biasa-biasa saja. Lagian, menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi negeri tentunya juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bukannya pesimis, tapi banyak senior-seniorku yang tamatan luar negeri tapi tidak bisa masuk setelah mengikuti beberapa kali tes.

Satu hal yang aku tidak setuju dengan dia adalah ketika dia mengatakan bahwa sayang jika seorang tamatan S2 hanya menjadi seorang guru. Aku berusaha berargumen, kenapa tidak? Bukankah permasalahan itu sebenarnya berakar dari sekolah dan jauh lebih complicated dibandingkan di kampus. Namun alasan itulah yang membuat dia tidak ingin menjadi guru.

Aku tau dimata masyarakat profesi sebagai seorang guru tidak begitu memiliki prestige. Asumsi kebanyakan adalah tamatan S2 akan lebih layak jika menjadi dosen. Asumsi itu tidak salah, tapi ketika kemudian masyarakat memandang rendah profesi guru aku terus terang tidak terlalu suka. Di sebuah SD di kota Padang, ada seorang guru yang sudah S3, sekolahnya pun tak tanggung-tanggung yakni di luar negeri, beasiswa lagi. Tapi dia tidak pernah memandang remeh pekerjaannya yang hanya sebagai guru SD. Dengan ilmu itu dia membangun sekolahnya dan berbagi ilmu dengan guru-guru yang ada disana. Dan juga ada seorang teman satu kelasku saat ini sangat fasih berbahasa Inggris, bekerja disebuah LSM asing serta tengah mengajukan schoolarship keluar negeri, beberapa waktu yang lalu dia malah ikut tes PNS untuk penempatan di SD. Padahal sangat disayangkan sekali jika orang sehebat dia harus terdampar di sekolah dasar. Tapi itu asumsi masyarakat. Baginya tidak masalah karena dia mencintai dunia anak-anak, dan untuk melakukan perbaikan di dunia pendidikan bukankah harus dimulai dari tingkatan yang terkecil? Dan bukankah pembanguan karakter seorang anak dimulai dari usia dini?

Memang terkadang idealisme akan terus berbenturan dengan kenyataan hidup. Biasanya semakin keras benturan membuat idealisme itu menjadi gugur satu persatu. Berbicara masalah pendidikan di Indonesia memang agak rumit. Belum lagi untuk merubah paradigma masyarakat yang terus berorientai pada materi dan kedudukan. Bahkan paradigma itu sendiri mungkin juga sudah melekat di otakku.

Perbincangan hari ini kuakhiri dengan sebuah perenungan, apapun pekerjaanku nanti aku akan berusaha seprofesional mungkin. Intinya tetap concern dibidang yang kita senangi dan lakukanlah yang terbaik.

Be Happy by Giving


Weekend ini terasa sepi. Entah karena mahasiswa pada pulang kampung atau karena masih menikmati liburan dengan memperpanjang waktu tidur, yang jelas jalan yang tadinya dipenuhi oleh lalu lalang mahasiswa, kini benar-benar sepi. Tapi bagaimanapun kondisinya, aku tetap melangkah menuju perpustakaan untuk mencari beberapa bahan yang dibutuhkan. Sesekali aku melihat orang-orang tengah melakukan aktivitas pagi. Ada yang menyapu halaman, ada yang sedang berbincang-bincang, ada yang menggendong anak dan lain-lain.

Kekhusuyukan berjalan seketika terganggu oleh suara langkah kaki orang yang ada dibelakangku. Suara hak sepatunya yang membentur jalan, menimbulkan bunyi yang cukup keras. Tapi aku tak menoleh agar tidak menimbulkan kesan ketidaknyamanan. Ditengah perjalanan, tiba-tiba saja seorang laki-laki berjalan mendahuluiku. Oh, ternyata dialah orang yang sedari tadi ada dibelakangku. Sesaat kemudian laki-laki yang memakai baju koko berwarna putih, kopiah hitam, celana berwarna gelap dan sepatu yang biasa dikenakan oleh pekerja kantoran, menoleh kearahku dengan wajah memelas. Dia bertanya arah jalan yang tentu saja tidak terlalu kumengerti. Kami terus berjalan beriringan. Bibirnya tak berhenti bicara sambil mengatakan bahwa dia dari Cirebon dan datang ke Yogya karena ada keluarga dekatnya yang meninggal, namun malangnya dia kecopetan.

Sesaat aku dengarkan saja, sambil sesekali bertanya untuk mencari informasi lebih lanjut. Aneh saja dari stasiun Tugu tersesat hingga ke Gejayan yang jaraknya cukup jauh dan membutuhkan 2x berganti bis untuk bisa sampai disini. Seingatku dia muncul dari selokan Mataram yang tidak dilalui oleh bis. Keganjilan berikutnya muncul ketika dia meminta bantuan uang untuk ongkos pulang. Hmm...aku terus berfikir. Orang ini benar-benar dalam kesusahan atau ada maksud lain? Karena motif tersesat dan tak tau jalan ini sudah 3x kutemukan, biasanya lakonnya adalah ibu-ibu berusia baya.
Awalnya kita simpatik dan berusaha membantu. Tapi ternyata ini hanyalah sebuah tipuan, yah lebih tepatnya bentuk kreatif dari mengemis.

Dulu aku pernah membantu seorang Ibu yang katanya juga tersesat. Dia datang dari daerah yang cukup jauh untuk mencari anaknya. Saat itu dia meminta sejumlah uang yang cukup besar untuk ongkos, tapi aku tak bisa menyanggupi dan hanya memberi seberapa yang kumampu saja. Beberapa hari kemudian, aku melihat ibu itu lagi tengah berbincang dengan seorang pemuda yang kuperkirakan masih kuliah. Pemuda itu menunjuk kesebuah arah, sepertinya menjelaskan sesuatu. Barulah aku sadar bahwa aku telah tertipu, dan pemuda itu pastilah korban berikutnya. Bukan bersuudzhan, tapi tak mungkin saja dalam waktu yang tak terlalu lama bisa tersesat dua kali, kalopun masih tersesat tentu pakaian yang digunakannya akan sama ketika dia bertemu denganku.

Kembali ke laki-laki yang berusia sekitar 40-an tadi, aku berusaha menghindar dan menyuruhnya bertanya kepada warga yang lebih mengerti petunjuk dan arah jalan. Dia pun menyetujui, akupun mempercepat langkah agar terhindar dari situasi yang membingungkan ini. Sempat tertinggal cukup jauh, tapi kemudian dia mengejarku. Yiah...!!!

Laki-laki itu kembali bercerita dan aku terus memberikan pertanyaan menyelidik. Kemudian muncullah kata-kata pamungkas “ Demi ALLAH mba’, saya tidak berbohong, saya bersumpah” . Ketika nama ALLAH sudah disebut aku tak bisa lagi mengelak. Kata-kata itulah yang akhirnya membuatku menyerahkan 1 lembar uang sepuluh ribuah (karena hanya itu yang tersisa di dompetku saat itu...). Sesaat setelah uang berpindah tangan, dia pergi mendahuluiku. Padahal jarak dari persimpangan masih beberapa meter lagi. Dia terlihat begitu terburu-buru. Mungkin ingin segera menghadiri pemakaman keluarga dekatnya itu. Sebelum berpisah, aku mengucapkan kata-kata simpati dan do’a kepada laki-laki itu. Dia beberapa kali mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Walaupun terus bertanya-tanya, tapi aku kembali meluruskan niat. Yah niatku adalah untuk membantu, jika cerita itu benar maka aku sangat bahagia telah bisa membantu, tapi jika cerita itu hanya karangan semata cukuplah ALLAH yang memberikan balasan. Itulah yang membuat hati menjadi lega.

The Power of Give II


Tiba-tiba saja langit menjadi hitam kelam dan memuntahkan segala isinya, padahal kuliah sore ini belumlah usai. Kilat menyambar bersahut-sahutan dengan gemuruh, membuat keinginan untuk segera sampai kost-pun tak terelakkan lagi. Beberapa menit kemudian, perkuliahan pun usai. Teman-temanku segera berhamburan dan meninggalkan kelas. Ketika akan pulang, tiba-tiba seorang teman mencegat langkahku. Dia melarangku pulang dengan berjalan kaki, selain cuaca yang memang tengah tak bersahabat, tak baik juga bagi seorang wanita berjalan saat hari sudah mulai gelap, katanya. Aku tak terlalu mengacuhkan kata-kata itu, yang kuinginkan hanyalah segera pulang, kalaupun menunggu hujan reda rasanya mustahil karena sepertinya hujan ini akan lama. Lagian jarak 500 meter tidak terlalu jauh. Jadi kupikir tak masalah, toh ini sudah menjadi makananku sehari-hari. Lagian aku memilih rute jalan raya, jadi Insyaallah aman.

Tapi temanku itu terus mencegah, dia tidak membolehkanku pulang sebelum dia mengantarku dengan taksi. Kembali terjadi hukum magnet, tolah menolak dan tarik menarik. saking ekstrim-nya dia mengambil payungku agar tak bisa pulang. Ah merepotkan sekali pikirku... Akhirnya setelah taksi berada di depan mata, akupun berhenti melakukan perlawanan. Yah, apa salahnya membiarkan orang berbuat baik. Sesaat kemudian aku sampai di kost-an. Dengan mengucapkan terima kasih, kamipun berpisah.

Dua hari kemudian saat kuliah pagi usai, temanku itu bercerita bahwa sebelum berangkat kuliah dia mendapat rezeki yang tak disangka-sangka. Saat menunggu bus, tiba-tiba saja ada sebuah taksi yang berhenti didepannya. Dan ketika kaca jendela dibuka, muncullah wajah yang cukup ia kenal. Yah, dia itu adalah salah seorang pejabat dari daerah temanku berasal. Kemudian pejabat itu menumpangi-nya taksi. Dan setelah sampai dikampus, pejabat tadi memberikan uang beberapa ratus ribu ke temanku. Tentu saja temanku menolak, karena atas dasar apa dia menerima uang tersebut. Tapi pejabat itu berkata, bahwa uang ratusan ribu yang dia berikan kepada temanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rezeki yang ia peroleh ketika berkunjung ke kota Yogya ini. Dan sebagai saudara satu kampung, apakah salah jika ia ingin berbagi rezeki? Akhirnya temanku-pun menerima uang tersebut.

Subhanallah, sungguh luar biasa. Rezeki yang temanku peroleh hari ini bisa jadi buah dari keikhlasannya mengantarkanku pulang padahal cuaca saat itu benar-benar menggoda semua orang untuk egois dan menyelamatkan diri masing-masing. Tapi tidak dengan temanku itu. Dia telah menganggapku sebagai adik perempuan yang harus dijaga sebagai mana ia selama ini menjaga ibu, istri dan anak perempuannya. Dia sering berkata kita semua bersaudara, dengan logat Timurnya yang khas, jadi kita harus saling membantu. Temanku itu memang terkenal dengan kemurahan hatinya. Dia begitu ringan tangan jika membantu. Kebaikan-kebaikannya tidak aku saja yang merasakan tapi juga teman-teman yang lainnya. Semoga saja kelak kebaikan-kebaikan inilah yang mengantarkannya kesyurga.

Temanku tadi sempat memberi-ku satu lembar uang 50ribuan dengan alasan ingin berbagi rezeki yang baru saja ia terima. Tapi aku menolak dengan halus. Ada saatnya kita menerima kebaikan seseorang dan ada pula saatnya untuk menolak. Dan saat ini aku bukanlah orang yang berhak menerimanya. Dia pun mengamini, mungkin ini jatah orang lain katanya. Subhanallah.

The Power of Give I


Siang begitu terik di Senin ini. Dalam keadaan dahaga, aku terus melawan rasa letih. Ini hidup, jadi bersemangatlah pikir batinku memberi penguatan. Dengan langkah berat aku segera menaiki bus dengan tujuan bertemu saudara iparku. Yah perjalanan ini harus kutempuh dengan bertukar 4x bus pulang balik. Tak apalah sekalian refreshing. Baru saja aku akan menikmati perjalanan, tiba-tiba seorang wanita naik dan duduk didepanku. Hmmm...sepertinya wajahnya tak asing dan aku sangat hafal dengan postur itu. Bukankah kami sempat beberapa bulan berada di kost-an yang sama?

Ah...apes pikirku. Dia adalah orang yang tidak ingin aku lihat. Entah kenapa, melihatnya saja menimbulkan ketidaknyamanan. Bukan tanpa sebab. Selama ini aku tau “trade record”-nya. Dan terus terang di otakku hanya terprogram hal-hal yang buruk tentang dia. Tapi yang namanya manusia, selalu saja pandai bermuka manis. Itulah yang kulakukan. Lagian aku juga tidak punya alasan untuk tiba-tiba marah. Ketika mata kami saling memandang, kami pun tersenyum. Aku yakin, dia pun kaget dengan pertemuan yang tentu hanya ALLAH yang merencanakan. Kami kemudian berbicara, tepatnya hanya sekedar basa-basi, tapi lumayan untuk sekedar membunuh kebisuan.

Sepintas wajahnya terlihat begitu berbeban dan tubuhnya terlihat lebih kurus. Semua bagaikan cerminan kesulitan hidup. Tiba-tiba saja timbul rasa iba. Aku berfikir selama ini mungkin dia tidak akan berbuat yang “aneh-aneh” jika tidak ada faktor pencetusnya. Dan mungkin, alasan yang paling kuat adalah karena urusan lambung. Bukankah ini termasuk sebagai salah satu jenis ujian terberat?

Beberapa hari yang lalu aku mendengar dia sempat menginap di hotel prodeo karena tindakan “aneh”-nya disalah satu kampus terkenal di Yogya terekam dalam sebuah kamera. Tapi beruntung, dengan uang tebusan yang cukup besar dia akhirnya bisa keluar. Yah bagaimanapun ini dunia, apa yang ditanam itulah yang akan dituai.
Ketika akan turun dari bus, aku membayari-nya ongkos perjalanan kami, tak banyak hanya Rp. 2500 saja. Bagaikan magnet, terjadi hukum tolak menolak dan tarik menarik, namun akhirnya dia mengucapkan terima kasih diiringi kata “semoga rezekinya bertambah...”

Aku pun kemudian melanjutkan perjalanan dengan naik bus berikutnya. Sesaat kemudian aku sampai dan akupun segera mencari hotel tempat saudaraku menginap. Pertemuan kami tak terlalu lama, setelah berbincang-bincang dan tujuan terpenuhi akupun pamit untuk pulang. Sebelum naik bus menuju kost-an, saudaraku itu menyodorkan 5 buah lembaran uang 50ribu-an. Aku awalnya menolak tapi dengan “strategi cantiknya” yang dipoles dengan sedikit bumbu “kebohongan” akhirnya aku menerima uang itu tanpa perlawanan. Walaupun merasa sedikit “tertipu”.

Disepanjang jalan aku tak henti-hentinya bersyukur bahkan sempat meneteskan airmata. Ternyata hisab ALLAH itu begitu cepat. Uang Rp.2500, yang keluarkan beberapa saat yang lalu berbuah menjadi 10x lipatnya. Subhanallah...Satu hal yang aku sesali adalah aku telah bersikap remeh. Mungkin do’a dari mantan teman kost-ku itulah yang di ijabah oleh ALLAH. Bisa jadi dia telah begitu tulus mendo’akanku. Tapi aku mengabaikannya, mengaminkan do’anya pun tidak. Padahal apa susahnya.

Aku tersadar, ALLAH benar-benar MAHA RAHMAN. Seburuk apapun tingkah laku seseorang, maka sebagai manusia aku tak berhak menjatuhkan penilaian. Cukuplah ALLAH yang paling tau apa yang tersembunyi dibalik hati yang terdalam sekalipun. Dan satu hal lagi, kita tidak pernah tau dari bibir-bibir hamba yang mana do’a akan diijabah, jadi jangan pernah meremehkan do’a sekecil apapun dan dari siapapun. Semoga kisah ini bisa kujadikan pelajaran untuk terus berpositive thinking. Amin.

The story of Jomblowati


Menjadi jomblowati ternyata tidak selamanya mengenakkan. Apalagi diusia yang sudah cukup pantas untuk menikah. Belum lagi menghadapi persepsi lingkungan, pertanyaan tentang kapan menikah, sampai diuber-uber untuk diajak menikah, merupakan situasi yang amat sangat tidak nyaman. Yah, tapi itu resiko. Setiap pilihan akan ada konsekuensinya.

Urusan menikah terkadang gampang-gampang susah. Ada yang memang belum sama sekali bertemu dengan yang cocok walaupun sudah dicomblangi beberapa kali, ada yang sudah ketemu dengan yang ada dihati tetapi terkendala restu orang tua atau berbeda keyakinan, ada yang gayungnya tak pernah bersambut sehingga tidak mungkin menikah dengan orang yang diinginkan, ada yang tak ada halangan sama sekali tapi sengaja menunda dengan alasan belum siap menikah, ada yang terlalu idealis menetapkan kriteria calon pendamping sehingga sulit menemukan seseorang yang sesuai dan lain-lain sebagainya. Itulah segelintir cobaan dan tantangan pra menikah. Beruntunglah bagi orang-orang yang yang diberi kemudahan untuk menikah dan tentu saja itu adalah berkah yang harus disyukuri. Namun jikapun saat ini ada yang masih terkendala, maka tetap bersyukur karena itu juga bentuk kasih sayang-Nya. Ibarat jalan, kalo lurus-lurus saja pasti kurang menarik. Tapi jika jalan itu berliku dan dinaungi jurang yang terjal, tentu lebih menantang.

Menikah bukan berarti segala urusan selesai. Bahkan ketika menikah maka kita tengah mengucapkan selamat datang pada permasalahan-permasalahan baru yang mungkin ujiannya akan semakin sulit. Ada beberapa teman yang bercerita tentang perjalanan “cinta”-nya yang tak kunjung berujung pada sebuah pernikahan. Dan betulah kata Anis Matta bahwa cinta yang mustahil berujung pada pernikahan maka akan sangat menyakitkan dan lebih baik untuk segera diakhiri. Inilah ujian yang paling berat, apalagi bagi wanita.

Dimata sebagian masyarakat, wanita yang sudah cukup umur tapi belum menikah terkadang menjadi bahan omongan. Kasihan sekali, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Bukan sama-sama membantu malah terkadang sering disalahkan seperti terlalu milih-milih dan lain-lain. Memangnya wanita tidak boleh memilih po?. Sebenarnya menikah hanya masalah waktu. Bukankah ALLAH telah mengatakan bahwa manusia itu dilahirkan berpasang-pasangan?

Aku ingat sebuah cerita nyata dari seorang wanita dalam penantiannya menjemput jodoh. Keyakinannya pada janji ALLAH benar-benar luar biasa. Usahanya untuk menikah tidak pernah berhenti, proses demi proses terus dilalui walupun semua tak berujung pada pernikahan. Tapi dia tetap berpositif thinking pada ALLAH, inilah poin yang cukup besar tapi teramat berat. Sampai akhirnya diusia 40 tahun, dia menikah dengan seorang duda yang ditinggal mati istrinya. Sambil berseloroh pada seorang teman yang sudah menikah jauh lebih dulu, dia mengatakan bahwa “ kamu boleh menikah lebih dulu, tapi masalah anak saya yang lebih banyak...” Sebuah selorohan yang cukup cerdas. Yah, walaupun dia baru menikah, tapi dia sudah memiliki beberapa anak yang lahir dari rahim istri suaminya yang dulu.

Sebuah pelajaran yang luar biasa. Terkadang ujian dan cobaan membuat manusia berputus asa dan lari dari jalan ALLAH. Padahal sebenarnya melalui permasalahan yang ada, ALLAH ingin melihat hamba-Nya menangis dan menghiba-hiba pada-Nya. Terkadang segala kemudahan yang diberikan membuat manusia lupa dengan pencipta-Nya. Maka disinilah menurut-ku letak urgensi dari masalah, agar seorang hamba bisa selalu dekat dengan Sang Khalik.

Sekali lagi menikah hanya masalah waktu, siapapun kelak yang akan menjadi pendamping hidup kita maka itu pastilah kado terindah dari ALLAH Sang Maha Pemilik Cinta...
Jadi para jomblowati sambil menunggu, mari kita lakukan persiapan dan perbaikan...

A confession


Aku mencintaimu,
Itu pasti.
Tak ada yang bisa menggantikan,
Tak ada yang bisa merenggutnya,
Kecuali Dzat yang Maha Tinggi.
Kuingin beri sgalanya,
Demi cintaku padamu,
Kuingin melihatmu selalu tersenyum,
Kuingin membuatmu selalu bahagia,
Kuingin selalu berikan kebanggaan,
Kuingin hati kita selalu terpaut,
Meski jarak memisahkan kita teramat jauh.
Aku rindu padamu,
Rindu wangi tubuhmu,
Rindu sentuhan hangatmu,
Rindu kecupan lembutmu,
Tapi kurasakan diriku bertambah tua,
Hingga kuragu masih pantas mendapatkannya.
Maaf jika selama ini hanya kecewa yang ada,
Maaf jika ternyata aku tak berguna,
Maaf jika aku telah mengabaikanmu,
Dan memilih cinta yang lain.
Kini kumerasa haus,
Kering,
Hampa,
Ibu.

The choice of heart



Semakin yakin akan sebuah pilihan,
Semakin tak berarah jalan yang kutempuh,
Semua tak berujung,
Buntu pada persimpangan yang bercabang,
Jika bisa menentukan,
Aku tak akan memilih siapa,
Aku takkan menyuruh rasaku ada,
Aku tak ingin harapan itu tumbuh,
Karena semua hanya melahirkan sakit berkepanjangan.
Bolehkah aku sejenak menghirup aroma kebebasanku?
Dianggap sebagai manusia dewasa,
Tanpa harus tersenyum dibalik tangis yang tertahan.
Atau bolehkah aku sejenak merasa bosan dengan ketidakpastian ini?
Kenapa?
Kenapa semua begini?
Berteriakpun sudah tak ada lagi yang mendengar.
Andaikan waktu bisa berulang,
Akan kulepas rasa ini,
Tak akan pernah kubiarkan ada,
Dan tak akan pernah tersampaikan,
Lebih baik ia tersimpan,
Karena jika pun hadir,
Hanya akan menjadi sepenggal kisah,
yang tak tau akhir.