Welcome to Matahari Ilmu

Jika hidup itu mengajarkanmu banyak hal, maka tuliskanlah sebagai sebuah tinta sejarah yang penuh hikmah....


Friday, September 11, 2009

Akhir sebuah sabar...

Dia seorang laki-laki yang kukenal berteman duka dan air mata. Tak pernah habis cobaan datang, seperti mimpi buruk yang terus membayang-bayangi harinya. Tapi dia selalu sabar dan selalu berkata, “ bukankah kita semua harus di uji, Lim?”. Itulah mas Sabar, seorang laki-laki kurus jangkung tiga puluhan yang selalu tersenyum dalam keadaan susah dan senang. Seolah-seolah bibir itu memang tercipta untuk mengukir senyuman.

“ Jadi Mas Sabar sekarang harus mengganti uang sebanyak itu ? Bagaimana bisa, Mas ? “ tanyaku tak percaya.

“ Ya mau gimana lagi Lim, orang miskin dan kecil seperti saya sering diperlakukan seenaknya, di pandang sebelah mata. Seolah-olah kehadiran kami hanya untuk diinjak-injak,” ujarnya lirih.

“ Tapi Mas, ini semua bukan salah Mas dan kenapa harus menanggungnya ? Ini ketidak adilan Mas. ” kataku berapi-api.

“ Lim, apa ada keadilan untuk orang seperti saya ? Tanyanya sambil melangkah menuju rumah. “ Sekarang jalani saja apa mau mereka,” tambahnya sambil menoleh dengan seulas senyuman.

Entahlah apa itu masih senyuman atau sebenarnya itu adalah luka yang tak bisa lagi terobati. Mas Sabar kau memang sabar. Seorang laki-laki yang lahir dari keluarga miskin dan harus menghidupi seorang Ibu yang sakit-sakitan dan dua orang adik laki-laki yang masih sekolah. Beruntung dia masih bisa menamati kuliah D3 Tekniknya atas bantuan seorang Dermawan di kota kami. Dan setelah tamat, masih atas rekomendasi dermawan tadi, mas Sabar bisa bekerja di sebuah perusahaan Elektronik Jepang. Melalui perusahaan inilah ia mengais rezeki untuk sekedar mengisi empat lambung setiap harinya. Meskipun begitu, mas Sabar tak pernah mengeluh. Dia mengajarkanku untuk selalu melihat ke bawah karena dengan begitu kita akan merasa sangat beruntung. Satu lagi, ia juga selalu mengingatkanku untuk selalu tersenyum walau mata berurai tangis. Nah, untuk yang satu ini, aku tak mengerti maksudnya apa.

“Salim . . . . sudah sore, bantu Ibu menutup warung!”. Tiba-tiba
teriakan Ibu menyadarkanku dari lamunan panjang.

“ Iya, Bu .... ,” jawabku agak keras agar bisa di dengar Ibu dan aku pun melangkah menuju rumah.

***

Malam ini aku tak bisa tidur, percakapanku tadi sore dengan mas Sabar benar-benar menguras otakku untuk berpikir. Bagaimana mungkin seorang mas Sabar yang rajin dan ulet di tuduh menggelapkan barang-barang elektronik yang jumlahnya hampi ratusan juta rupiah. Itu sebuah kemustahilan. Tidak mungkin.

Mas Sabar memang di percayai untuk mengawasi setiap barang yang masuk dan yang keluar di perusahaannya tapi semua itu selalu di pantau Bosnya. “ Ah..... itu pasti fitnah!” teriakku dalam hati.

Tiba-tiba aku mendengar percakapan Bapak dan Ibu dari balik kamar yang hanya berdindingkan triplek.

“ Kasihan si Sabar ya, Pak. Kenapa ada saja cobaan yang datang ? ” tanya Ibu sambil menghitung uang penjualan warung hari ini.

“ Bapak juga ga ngerti Buk, mungkin saja ini ada permainan orang-orang yang tidak suka sama si Sabar. Ibu kan tau sendiri, dia tu orangnya jujur dan disiplin. Tapi ya begitulah Buk, dizaman sekarang ini terkadang orang-orang yang langka seperti si Sabar itu sering di anggap aneh dan segera dimusnahkan. “ jelas Bapak sambil menyeruput kopi panasnya.

“ Iya Pak, Ibuk tau. Tapi kok ada orang sejahat itu, menfitnah ga liat-liat orang. Apa mereka ga mikir yang sedang dipertaruhkan disini hidup seseorang. Gimana coba Pak, kalo sampe-sampe si Sabar di penjara, Ibunya gimana trus si Didin dan si Diman ? tanya Ibu dengan suara meninggi.

“ Hush... sudah Buk, jangan mikir macam-macam. “ sanggah Bapak. Yang jelas si Sabar tu sudah kita anggap anak sendiri karena kita kan sudah tetanggaan puluhan tahun. Jadi kita harus bantu, minimal bantu doa. “ jelas Bapak sambil kembali menyeruput kopinya.

“ Sekarang sana gih, Ibu sholat Isya dulu dan jangan lupa doanya.” perintah Bapak.

“ Iya Pak, tanggung sedikit lagi. “ jawab Ibu sambil beberapa saat kemudian mulai beranjak ke kamar mandi. Sesaat kemudian suara gemericik air pun terdengar.

***

Sore ini kembali aku dan mas Sabar duduk di bawah pohon nangka di depan rumah kami, sambil mencicipi pisang goreng bikinan Ibu.

“ Ngomong-ngomong gimana Mas perkembangan kasus kemarin ? “ tanyaku sambil menoleh ke wajahnya yang semakin tirus.

“ Hfuhhh..... “ desahnya panjang sambil menggelengkan kepala beberapa kali dan tersenyum.

“ Apa masih belum ada perkembangan Mas? “ Tanya ku lagi dengan tak sabar menanti jawaban.

“ Lim, coba liat burung-burung itu, begitu riang ya . . kicaunya merdu” jawabnya sambil menerawang.

“Aduh ... Mas ini lucu orang nanya apa, jawabnya apa. Kenapa sih Mas, apa saya gak boleh tau. Bagaimanapun Mas kan sudah saya anggap sebagai kakak sendiri. Susah mas, ya susahnya saya. Senangnya mas ya senangnya saya juga” tegasku.

“ Ha...ha...ha... Salim, salim . “ Entahlah, rasanya saya ingin terbang bagai burung-burung itu. Terbang jauh, bebas kemanapun suka “ lirihnya.

“ Semua terasa kusut Lim, kenapa semua bukti-bukti lenyap begitu saja.” Teman-teman yang selama ini saya anggap sahabat berubah menjadi musuh-musuh yang siap menerkam. “ Saya ga ngerti apa yang terjadi, tiba-tiba saya harus mempertanggung jawabkan sejumlah uang yang mungkin seumur hidup tidak bisa saya liat. Lucu ya Lim. “ jawabnya sambil tersenyum

Kali ini aku terdiam, bibirku terasa kelu dan tak tau lagi harus berkata apa. Rasanya dunia telah berlaku tidak adil padanya. Kenapa dia selalu di uji dengan ujian yang begitu berat.

“ Apa mas ga merasa dunia ini kejam, mungkin di balik kesusahan Mas ini ada orang-orang yang sedang bersenang-senang menikmati penderitaan Mas. “ Mereka yang jahat bergembira, sedangkan Mas yang tak tau apa-apa harus menderita seperti ini? ” tanyaku marah.

“ Sudahlah Lim, kita tidak boleh menyalahkan dunia karena itu berarti kita tengah menyalahkan pemilik-Nya. Doakan saja, semoga Mas bisa sabar dan ikhlas menerima ini semua. Toh, Segala usaha sudah mas kerahkan untuk membuktikan mas tidak bersalah. Tapi jika pun seandainya mas harus dihukum, mas akan terima itu sebagai suatu ujian bagi seorang Sabar. “ jelasnya sambil kembali mengulas senyum.

“ Tapi Mas .....
“ Sudahlah Lim, mari kita masuk sudah maghrib dan sebentar lagi mau adzan. Sana , kamu mandi dulu trus sholat, jangan lupa doakan Mas ya!

Akhirnya kami pun masuk ke rumah masing-masing. Lagi-lagi percakapan kali ini meninggalkan sejuta tanya di benakku. Entah apa yang akan terjadi, tapi aku harap ini bukanlah hal buruk.

***

Siang ini sepluang sekolah aku mendapati Ibu duduk di luar rumah menangis sambil memeluk Didin dan Diman.

“ Ada apa Bu, apa yang terjadi ? “ Tanyaku heran.
“ Sa...Sabar, Lim...hik...hikk...hikks....” tangis Ibu menjadi-jadi.
“ Kenapa... kenapa dengan Mas Sabar Buk ?” tanyaku sambil tak tentu.

Tapi aku tak mendapati jawaban dari Ibu, beliau terus menangis bersamaan dengan isakan kedua adik mas Sabar, Didin dan Diman. Aku mulai panik dan aku pun masuk ke rumah mas Sabar untuk mencari jawaban atas sejuta tanya yang tengah bergelayut di benakku.

Di dalam rumah kudapati Bapak dengan beberapa tetangga lainnya tengah berusaha menolong Ibunya mas Sabar. Aku mulai mendengar beberapa orang terus menyuruhnya untuk bertahlil dan akhirnya lirih ku mendengar kata, ” Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. “ Wanita yang telah mengeluarkan seorang Sabar ke dunia melalui rahimnya itu pun akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.

***

Malam ini seusai pemakaman tadi sore, aku mencoba membaringkan tubuhku yang terasa remuk oleh perasaan-perasaan yang tak menentu. Benakku masih menyimpan sejuta tanya yang belum terselesaikan. Tiba-tiba Bapak masuk ke kamarku dan berkata, “ Lim, tadi siang sebelum di jemput polisi Sabar menitipkan sebuah surat untukmu. ” Segera saja kubuka surat yang tak terbungkus amplop itu, tak kuhiraukan lagi bapak yang telah berlalu dari kamarku.

Salim Saudaraku,
Hidup mengajarkan ku untuk kuat bagai batu karang,
ingin ku ikut bersama gelombang yang membawaku jauh dari dataran,
ingin ku ikuti langit biru yang liputi sinar kebahagian,
tapi aku tak bisa,
karena ku tlah di takdirkan tuk harus kokoh melawan badai,
aku tak boleh kalah oleh panas matahari,
ataupun rapuh karena dinginnya malam yang kelam,
karena aku adalah Sabar,
yang akan menjadi mutiara yang bersinar,
walaupun jauh tersimpan di dasar lautan.

Tak terasa butiran-butiran bening itu pun jatuh membasahi pipiku, entah sudah berapa banyak. Lirih ku berkata “ Sabar takkan mati, dia kan terus hidup direlung-relung hati yang suci.”

Padang, 2008

2 comments:

  1. Assalamu'alaikum... wah... uniku... subhanallah... keep semangat...
    uni ternyata puitis and cerpenis begete...

    ReplyDelete