Welcome to Matahari Ilmu

Jika hidup itu mengajarkanmu banyak hal, maka tuliskanlah sebagai sebuah tinta sejarah yang penuh hikmah....


Wednesday, April 21, 2010

An Education Dilemma


Pertemuan kami sebuah kebetulan jika dilihat dari kacamata manusia, tapi tentu saja tidak bagi Tuhan. Segala sesuatu tidak ada yang kebetulan bagi-Nya, semua sudah direncanakan bahkan sebelum manusia itu lahir. Aku menyapa duluan, karena dari logat bicaranya aku yakin kami berasal dari daerah yang sama. Dan tebakanku tak salah. Ternyata dia adalah seorang dosen di kampusku dulu yang juga alumni dari universitas yang sama. Berarti dia adalah seniorku walaupun berbeda jurusan, dan ternyata dia tamat setahun setelah aku masuk.

Percakapan kami cukup lama, mungkin sekitar 15 menitan, lumayan juga untuk keluar sejenak dari kerumitan buku-buku yang kubaca di perpustakaan ini. Dan lega rasanya bisa berbicara dengan first language kami. Aku cukup kagum dengan semangat belajarnya. Dia baru saja menyelesaikan S2 dengan prediket cum laude. Dan setelah ini dia akan melanjutkan study S3-nya dengan beasiswa tentunya. Aku hanya tersenyum, kasihan sekali istri dan anaknya yang kembali harus ditinggal. Tapi itulah, kesuksesan itu memang terkadang harus ditebus dengan pengorbanan yang cukup berat.

Setelah berbicara ngalor ngidul dari kampung halaman hingga dunia pendidikan, dia mulai menjurus ke arah yang cukup spesifik. Dia menanyakan apa rencanaku setelah S2? Peluang kerja seperti apa yang kuinginkan? Aku hanya mengatakan bahwa aku ingin ilmu yang kumiliki sekarang bermanfaat untuk banyak orang. Apakah nanti di kampus atau di sekolah, menurutku terserah saja. Toh aku tidak akan memilih-milih objek untuk berbagi ilmu, jika ada universitas atau sekolah yang membutuhkan maka aku akan dengan senang hati berbagi ilmu.

Bapak itu menanyakan hubunganku dengan pihak jurusan di kampus dulu. Dia menyuruhku untuk mencari koneksi dan lebih pro-aktif. Bukan untuk KKN, tapi memang semakin banyak relasi maka akan semakin besar peluang kerja. Apa yang dia sampaikan benar adanya, namun sayang waktu dikampus dulu aku bukanlah termasuk kategori mahasiswa yang berprestasi. Dan jikapun aktif berorganisasi, aku lebih sering berada dilapangan daripada berhubungan dengan urusan birokrasi kampus. Bisa dikatakan aku ini biasa-biasa saja. Lagian, menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi negeri tentunya juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bukannya pesimis, tapi banyak senior-seniorku yang tamatan luar negeri tapi tidak bisa masuk setelah mengikuti beberapa kali tes.

Satu hal yang aku tidak setuju dengan dia adalah ketika dia mengatakan bahwa sayang jika seorang tamatan S2 hanya menjadi seorang guru. Aku berusaha berargumen, kenapa tidak? Bukankah permasalahan itu sebenarnya berakar dari sekolah dan jauh lebih complicated dibandingkan di kampus. Namun alasan itulah yang membuat dia tidak ingin menjadi guru.

Aku tau dimata masyarakat profesi sebagai seorang guru tidak begitu memiliki prestige. Asumsi kebanyakan adalah tamatan S2 akan lebih layak jika menjadi dosen. Asumsi itu tidak salah, tapi ketika kemudian masyarakat memandang rendah profesi guru aku terus terang tidak terlalu suka. Di sebuah SD di kota Padang, ada seorang guru yang sudah S3, sekolahnya pun tak tanggung-tanggung yakni di luar negeri, beasiswa lagi. Tapi dia tidak pernah memandang remeh pekerjaannya yang hanya sebagai guru SD. Dengan ilmu itu dia membangun sekolahnya dan berbagi ilmu dengan guru-guru yang ada disana. Dan juga ada seorang teman satu kelasku saat ini sangat fasih berbahasa Inggris, bekerja disebuah LSM asing serta tengah mengajukan schoolarship keluar negeri, beberapa waktu yang lalu dia malah ikut tes PNS untuk penempatan di SD. Padahal sangat disayangkan sekali jika orang sehebat dia harus terdampar di sekolah dasar. Tapi itu asumsi masyarakat. Baginya tidak masalah karena dia mencintai dunia anak-anak, dan untuk melakukan perbaikan di dunia pendidikan bukankah harus dimulai dari tingkatan yang terkecil? Dan bukankah pembanguan karakter seorang anak dimulai dari usia dini?

Memang terkadang idealisme akan terus berbenturan dengan kenyataan hidup. Biasanya semakin keras benturan membuat idealisme itu menjadi gugur satu persatu. Berbicara masalah pendidikan di Indonesia memang agak rumit. Belum lagi untuk merubah paradigma masyarakat yang terus berorientai pada materi dan kedudukan. Bahkan paradigma itu sendiri mungkin juga sudah melekat di otakku.

Perbincangan hari ini kuakhiri dengan sebuah perenungan, apapun pekerjaanku nanti aku akan berusaha seprofesional mungkin. Intinya tetap concern dibidang yang kita senangi dan lakukanlah yang terbaik.

No comments:

Post a Comment